Kemiskinan
dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep
kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar
kelayakan hidup seseorang atau kekeluarga. Kedua istilah itu menunjuk pada
perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari
distribusi pendapatan.
Perbedaannya adalah bahwa pada kemiskinan
absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata
(garis kemiskinan) dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara
pada kemiskinan relatif kategori kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan
relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk.
1) Kemiskinan
Absolut
Kemiskinan absolut atau mutlak berkaitan dengan
standar hidup minimum suatu masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk garis
kemiskinan (poverty line) yang sifatnya tetap tanpa dipengaruhi oleh keadaan
ekonomi suatu masyarakat. Garis Kemiskinan (poverty line) adalah kemampuan
seseorang atau keluarga memenuhi kebutuhan hidup standar pada suatu waktu dan
lokasi tertentu untuk melangsungkan hidupnya. Pembentukan garis kemiskinan
tergantung pada defenisi mengenai standar hidup minimum. Sehingga kemiskinan
abosolut ini bisa diartikan dari melihat seberapa jauh perbedaan antara tingkat
pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara
keadaan miskin dengan tidak miskin.
2) Kemiskinan
Relatif
Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada
perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang
berada dilapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat
digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja
mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak
dasarnya, namun tingkat keterpenuhannya berada dilapisan terbawah.
2. PENGERTIAN
KEMISKINAN
Kemiskinan adalah
keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman
utamanya mencakup:
Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup
kebutuhan pangan sehari-hari: sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan.
Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan
pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk
keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan
sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup
masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang
lainnya.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang
memadai. Makan "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi
bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat
diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal.
Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.
B.
GARIS KEMISKINAN
Garis Kemiskinan (GK)
Konsep Definisi
Garis Kemiskinan merupakan representasi dari jumlah
rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan
yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok
bukan makanan.
Rumusan
GK = GKM + GKNM
Ket : GK
= Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non
Makanan
Kegunaan
Untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti
jumlah dan persentase penduduk miskin (headcount index-Po), indeks kedalaman
kemiskinan (poverty gap index-P1), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty
severity index-P2)
Keterangan Tambahan
Selain dari Susenas Modul Konsumsi dan Kor, variabel
lain untuk menyusun indikator kemiskinan diperoleh dari Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar (SPKKD).
Interpretasi
Garis kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara
dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan.
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Penyebab Kemiskinan :
- penyebab individual, atau
patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan,
atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah
penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
- penyebab keluarga, yang
menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga
juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan
pemasukan keuangan keluarga.
- penyebab sub-budaya (subcultural), yang
menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau
dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah
tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
- penyebab agensi, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang,
pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji
atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya
adalah perbudakan.
- penyebab struktural, yang
memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa
kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika
Serikat (negara terkaya per kapita di
dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati
atas garis kemiskinan.
Dampak Kemiskinan :
- Berkurangnya
rasa nasionalisme, dikarenakan terlalu memikirkan kebutuhan utuk bertahan
hidup.
- Tindak
kejahatan tersebar dimana-mana, dikarenakan sudah terlalu terdesak dengan
kebutuhan tanpa dibekali iman dalam agama sehingga segala cara dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan
- Harga
diri suatu Negara yang jatuh dimata dunia dan dianggap sumber dayanya
tidak memiliki potensi untuk maju dan hanya mengandalkan bantuan saja.
- Menumbuhkan
generasi muda yang tidak mengindahkan budaya ketimur.
- Hilangnya
rasa gotong royong dan saling membantu dikarenakan tingkat sifat
individualism yang tinggi.
- Timbulnya
banyak penyakit dimana-mana dikarenakan keadaan lingkungan yang kumuh dan
jauh dari kebersihan.
- Semakin
banyak yang tidak belajar agama dikarenakan memilih pada focus utama yaitu
cari makan.
- Semakin
terpuruknya ekonomi suatu Negara yang mengakibatkan kehancuran suatu
bangsa, akibat ingin memisahkan diri dari wilayah kesatuan tanah air.
Pertumbuhan, Kesenjangan dan
Kemiskinan.
Data
1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan
tingkat kesenjangan ekonomi. Semakin
tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya
dengan simiskin.
Penelitian
di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode
1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil,
tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland,
Inggris dan Swedia.
Janti
(1997) menyimpulkan è
semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh
pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik.
Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala
keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan
keluarga.
Hipotesis
Kuznetsè ada
korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita
dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan.
Dengan
data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan
bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk
U terbalik.
Tingkat Kesenjangan
Periode
Tingkat
Pendapatan Per Kapita
Hasil
ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi
dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada
awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat
proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan
menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau penciptaan
pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak
studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
a.
Sebagian
besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
b. Hubungan positif
pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan
ada di DC’s
c.
Kurva
bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun
sebelah kanan.
Deininger
dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486
observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini
berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand
dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung
hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi
pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan,
unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Ravallion
dan Datt (1996) menggunakan data India:
§ proxy dari pendapatan
perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per
orang (1951=0)
§ proxy tingkat
kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya
menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan
tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis,
dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan
kesenjangan.
BEBERAPA
INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
Indikator
Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk
mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam
dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering
digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga
alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien
gini. [2]
Yang paling sering
dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai
dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama
dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
0
x
Kurva Lorenz
Kumulatif presentase dari populasi
Yang mempunyai pendapatan
Ide dasar dari
perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai
rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45
derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan. Ketimpangan
dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0.
Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang
dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan
koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur
diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank
Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40%
penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan
20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya,
ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh
40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat
ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40%
penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari
jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut
menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan
rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah
pendapatan.
Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan
yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena
adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik
(BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per
kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS,
1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari.
Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran
untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS
menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan
pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan
dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan
absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah
batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan
minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari
2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non
makanan (non food line).
Untuk mengukur
kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang
sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty
: presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran
konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H.
Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu
wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan
sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan
orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut
yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :[4]
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a
Indeks Pa ini sensitif
terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara
garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi)
dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi)
/ z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau
dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka
menghasilkan indeks Pa.
Ketiga, the severity of
property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada
prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang
miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk
miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang
juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk
mengetahui intensitas kemiskinan.
kemiskinan
di Indonesia
Setelah indonesia
dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999 dan
setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara
spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskin meningkat kembali
dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP
dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk
miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta
jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta
jiwa (BPS,1999). Sementara itu, International
Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia
pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari seluruh
jumlah penduduk (BPS, 1999).
Data dari BPS (1999)
juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998 telah terjadi peningkatan
jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah pedesaan dan perkotaan. Di
wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkat menjadi 67,72%, sementara di
perkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secara agregat, persentase peningkatan
penduduk miskin terhadap total populasi memang lebih besar di wilayah pedesaan
(7,78%) dibandingkan dengan perkotaan (4,72%). Akan tetapi, selama dua tahun
terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin meningkat sekitar 140% atau
10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau
16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).
Data di atas
mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan penduduk perkotaan lebih
parah daripada penduduk pedesaan. Menurut Thorbecke (1999), setidaknya ada dua
penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh lebih buruk
pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti perdagangan, perbankan
dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampak negatif dan memperparah
pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga bahan makanan kurang
berpengaruh terhadap penduduk pedesaan karena mereka masih dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsistem yang dihasilkan dan
dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat perkotaan yang sistem
produksi subsistemnya khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan makanan
tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.
Angka kemiskinan ini
jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinan dimasukkan penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta
jiwa. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo
terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki
pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum
kondisi PMKS lebih memprihatinkan daripada orang miskin. Selain memiliki
kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami ketelantaran psikologis, sosial
dan politik terutama menghinggapi para pemuda di negeri ini.
Selain kelompok di
atas, krisis ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah orang yang bekerja di
sektor informal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor
swasta dan pemerintah, serta dirampingkannya struktur industri formal yang
lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis
antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhdap 5,4 juta pekerja
pada sektor industri modern menurunkan jumlah pekerja formal (terutama para
pemuda) dari 35% menjadi 30%.
Menurut Tambunan
(2000), sedikitnya setengahnya dari penganggur baru tersebut diserap oleh
sektor informal serta industri kecil dan rumah tangga lainnya. Pada sektor
informal perkotaan khususnya pedagang kaki lima mengalami peningkatan yang
sangat dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung pada periode akhir tahun
1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300% (Kompas, 1998). Dilihat
dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun
demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial
ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan rentan.
Departmen Sosial tidak
pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini, termasuk melaksanakan
Program-Program Kesejahteraan Sosial dikenal PROKESOS yang dilaksanakan, baik
secara intradepartmen maupun antardepartmen bekerja sama dengan
department-departmen lain secara lintas sektoral. Dalm garis besar pendekatan
Depsos dalam menelaah dan menangani kemsikinan sangat dipengaruhi oleh
persefektif pekerjaan sosial (social
work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau
pekerjaan –pekerjaan amal begitu saja, melainkan profesi pertolongan
kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body knowledge), nilai-nilai (body
value), dan keterampilan (body of
skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi
pekerjaan sosial (S1, S2, dan S3).
Karakteristik
kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan adalah
persoalan yang dihadapi oleh seluruh Negara di dunia akan tetapi karakteristik
kemiskinan pada masing-masing Negara berbeda. Menurut Kemal A. Stamboel,
sedikitnya terdapat tujuh karakteristik kemiskinan di Indonesia, yaitu :
1.
Mayoritas rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya
di sektor pertanian.
Secara sektoral, jumlah penduduk miskin Indonesia
terkonsentrasi di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), sekitar 63% rumah tangga miskin yang bekerja di sektor
pertanian merupakan buruh tani, sekitar 6% bekerja di sektor industri, sekitar
10% belum atau tidak memiliki pekerjaan dan sisanya 21% bekerja di
sektor-sektor lainnya. Besarnya ketergantungan masyarakat miskin terhadap
sektor pertanian menjadikan sektor ini penting untuk mendapatkan prioritas
dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Meski demikian, kita melihat pertumbuhan sektor
pertanian terus menurun dari tahun ke tahun yang secara tidak langsung
menunjukkan produktivitas yang sangat rendah. Produktivitas yang rendah ini
menyebabkan nilai pendapatan per kapita sektor pertanian paling rendah jika
dibandingkan sektor lainnnya. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh
banyak hal. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kepemilikan dan
penguasaan lahan petani.
2.
Mayoritas rumah tangga miskin adalah petani
gurem/subsisten
Jumlah petani
meningkat sekitar 5 juta dalam kurun waktu 1993-2003 dari 20,87 juta menjadi
25,4 juta atau dengan kata lain meningkat rata-rata 2,2% per tahun. Namun
peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah petani gurem/subsisten
yang pada tahun 1993 hanya berjumlah 10,8 juta jiwa menjadi 13,7 juta jiwa pada
tahun 2003 atau meningkat sekitar 2,6% per tahunnya. Dengan demikian persentase
rata-rata peningkatan jumlah petani gurem lebih tinggi 0,3% dari peningkatan
rata-rata jumlah rumah tangga petani.
Kondisi
gurem/subsisten ini meyebabkan petani di Indonesia memiliki produktivitas yang
rendah. Produktivitas pertanian yang mereka lakukan hanya mampu untuk memenuhi
kebutuhan makan namun belum mampu untuk mendapatkan keuntungan sehingga
memperoleh tambahan pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
non-makanan.
3.
Disparitas tingkat kemiskinan yang tinggi antara kota
dan desa
Secara
kuantitas, jumlah penduduk miskin yang tinggal di perdesaan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan dengan rata-rata hamper mencapai
dua kali lipat. Dengan kata lain, setiap satu penduduk miskin yang ada di kota,
terdapat sekitar 2 penduduk miskin yang berda di desa. Lebih dalam lagi bila
kita perhatikan, keberdaan penduduk miskin di kota tak lain merupakan akibat
dari proses urbanisasi yang cukup masif dari penduduk miskin desa yang pindah
ke kota untuk mencari pekerjaan.
Urbanisasi
menyebabkan terjadinya perpindahan tenaga kerja dari penduduk miskin perdesaan
yang memiliki keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan keahlian beralih ke
kota. Proses perpindahan ini secara tidak langsung menjadi sebuah proses
pemindahan penduduk miskin yang awalnya tinggal di perdesaan menjadi tinggal di
daerah perkotaan. Dengan kata lain, meskipun terdapat penduduk miskin di kota,
sumber kemiskinan tetap muncul dari wilayah perdesaan.
4.
Disparitas tingkat kemiskinan yang sangat tinggi antar provinsi
Secara
geospasial, Indonesia memiliki angka sebaran kemiskinan yang tidak merata antar
provinsi dan terdapat kesenjangan yang sangat besar antar satu provinsi dengan
provinsi yang lain. Ada provinsi yang tingkat kemiskinannya cukup rendah namun
di daerah lain sangat tinggi, bahkan perbedaannya bisa mencapai 1 banding 12.
Ambil contoh Jakarta dan Papua, dimana tingkat kemiskinan Jakarta hanya sekitar
3,84%, sedangkan di Papua bisa mencapai angka 36,8%. Ini adalah sebuah potret
disparitas yang sangat ekstrem. Jika kita lihat lebih mendalam potret kegiatan
ekonominya, maka provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya banyak bergerak di
sektor pertanian cenderung memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dibandinkan
provinsi-provinsi yang mengandalakan
sektor perindustrian atau jasa.
5.
Dominasi belanja belanja makanan terhadap garis
kemiskinan
Pendekatan
perhitungan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan pengeluaran minimum
kebutuhan dasar makanan dan non-makanan menyebabkan tingkat kemiskinan di
Indonesia sangat elastis terhadap perubahan harga kedua jenis komoditas
tersebut. Dari dua jenis komoditas, makanan dan non-makanan terhitung bahwa
mayoritas pengeluaran masyarakat miskin
yaitu 74% digunakan untuk pembelian komoditas makanan sedangkan
komoditas non-makanan hanya menyumbang sekitar 26%. Dari total pengeluaran
makanan tersebut, beras adalah penyumbang terbesar dengan proporsi sebesar
25,2% untuk rumah tangga miskin yang tinggal di perkotaan dan sekitar 34,11%
untuk rumah tinggi miskin di perdesaan.
Selanjutnya,
fenomena yang cukup menarik adalah pengeluaran rumah tangga miskin terhadap
rokok ternyata cukup tinggi yakni sekitar 7,93% untuk rumah tangga miskin di
perkotaan dan sekitar 5,9% untuk rumah tinggi miskin perdesaan. Pengeluaran
untuk konsumsi rokok ini menduduki peringkat kedua terbesar setelah beras untuk
jenis komoditas makanan. Lebih miris lagi, pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok
lebih besar daripada penegeluaran untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.
6.
Berkumpul di sekitar garis kemiskinan.
Menurut data
BPS, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 30,02 juta jiwa
atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia, jika dibandingkan dengan
data per Maret 2010, dimana penduduk miskin berjumlah 31,02 juta jiwa atau
13,33% maka terjadi penurun 1 juta jiwa dalam setahun terakhir. Namun penurunan
tersebut melambat jika dibandingka dengan pencapaian tahun sebelumnya yang
berhasil mengentaskan kemiskinan hingga 1,5 juta jiwa sementara pertumbuhan
ekonomi nasional tahun 2011 meningkat drastis mencapai 6,5% dari tahun 2010
yang hanya 6,1%. Dengan kata lain, laju pengurangan kemiskinan tidak sebanding
dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Angka ini pun
belum menambahkan jumlah penduduk yang sedikit di atas garis kemiskinan atau near poor. Tahun sebelumnya jumlah near poor mencapai 29,38 juta jiwa yang
didapat dengan melihat jumlah populasi yang hidup dikisaran 1,2 kali dari garis
kemiskinan. Dengan demikian, jika rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2011
adalah Rp.233.740,- pengeluaran per kapita per bulan atau Rp.7.791,- per kapita
per hari (BPS, 2011), maka ukuran untuk near
poor adalah penduduk yang pengeluaran per kapita per bulannya di bawah
Rp.280.488 atau Rp,9,350,- per kapita per hari. Dengan ukuran tersebut berarti
jumlah penduduk yang pengeluaran di bawah Rp.10.000,- per hari masih sekitar 60
juta jiwa yang terdiri dari 30,02 juta jiwa di kategorikan miskin dan 29,38
juta jiwa yang dikategorikan hampir miskin.
7.
Kemiskinan bersifat multidimensi.
Jika kita kembali
membaca data Susenas 2009 BPS, hati kita akan semakin gelisah karena kemiskinan
multidimensi masih merupakan fenomena umum yang terjadi di masyarakat kita dari
sisi kesehatan, jumlah kematian balita per 1.000 kelahiran mencapai 60,1% di
daerah perdesaan dan 37,8% di perkotaan. Persentase penduduk yang tinggal di
rumah yang tidak layak tinggal , kurang akses sanitasi, dan tidak memiliki MCK
yang baik mencapai angka 50,42% untuk daerah perdesaan dan 15,05% untuk
perkotaan.
Dari segi pendidikan,
masyarakat Indonesia masih mengalami nasib yang mengenaskan. Angka persentase
penduduk yang hidup dalam rumah tangga dengan kepala keluarga yang tidak
menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun mencapai angka 83,65% untuk
perdesaan dan 50,47% untuk perkotaan. Yang paling memprihatikan adalah
rendahnya tingkat pendidikan generasi muda yang bisa dilihat dari persentase
penduduk yang berusia 18-24 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar
Sembilan tahun berjumlah 40,70% untuk daerah perdesaan dan 15,97% untuk
perkotaan.
Faktor – faktor Kemiskinan :
1. Pengangguran
Semakin
banyak pengangguran, semakin banyak pula orang-orang miskin yang ada di
sekitar. Karena pengangguran atau orang yang menganggur tidak bisa mendapatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal kebutuhan setiap manusia
itu semakin hari semakin bertambah. Selain itu pengangguran juga menimbulkan
dampak yang merugikan bagi masyarakat, yaitu pengangguran dapat menjadikan
orang biasa menjadi pencuri, perampok, dan pengemis yang akan meresahkan
masyarakat sekitar.
2. Tingkat pendidikan yang
rendah
Tidak
adanya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan wawasan yang lebih, masyarakat tidak akan mampu memperbaiki
hidupnya menjadi lebih baik. Karena dengan pendidikan masyarakat bisa mengerti
dan memahami bagaimana cara untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
kehidupan manusia.
Dengan
belajar, orang yang semula tidak bisa menjadi bisa, salah menjadi benar, dsb.
Maka dengan tingkat pendidikan yang rendah masyarakat akan dekat dengan
kemiskinan.
3. Bencana Alam
Banjir,
tanah longsor, gunung meletus, dan tsunami menyebabkan gagalnya panen para
petani, sehingga tidak ada bahan makanan untuk dikonsumsi dan dijual kepada
penadah atau koperasi. Kesulitan bahan makanan dan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari tidak dapat terpenuhi.
KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan
suatu strategi dan bentuk
intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
1.
pertumuhan ekonomi yang
berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2.
Pemerintahan yang baik (good
governance)
3.
Pembangunan sosial
Untuk
mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang
sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
a.
Intervensi jangka pendek,
terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
b.
Intervensi jangka menengah dan
panjang
o Pembangunan sektor swasta
o Kerjasama regional
o APBN dan administrasi
o Desentralisasi
o Pendidikan dan Kesehatan
o Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan
PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH Untuk
MENANGGULANGI KEMISKINAN di INDONESIA
A.
Program
Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) secara konsep mencakup komponen untuk biaya
operasional non personel hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan,
Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas). Namun karena biaya satuan
yang digunakan adalah rata-rata nasional, maka penggunaan BOS dimungkinkan
untuk membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil dan
biaya investasi.
Prioritas
utama BOS adalah untuk biaya operasional non personil bagi sekolah. Oleh karena
itu keterbatasan dana BOS dari pemerintah Pusat, maka biaya untuk investasi
sekolah/madrasah/ponpes dan kesejahteraan guru harus dibiayai dari sumber lain,
dengan prioritas utama dari sumber pemerintah, pemerintah daerah dan
selanjutnya dari partisipasi masyarakat yang mampu.
Dalam
Rangka Penuntasan Wajar Sembilan tahun yang bermutu, banyak program yang telah,
sedang dan akan dilakukan. Program-program tersebut dapat dikelompokkan menjadi
3, yaitu pemerataan dan perluasan akses, peningkata mutu, relevansi dan daya
saing dan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Salah satu program
yang diharapkan berperan besar terhadap percepatan penuntasan Wajar 9 Tahun
yang bermutu adalah program BOS.
Melalui Program BOS yang terkait
dengan gerakan percepatan penuntasan Wajar 9 Tahun, maka setiap pelaksanaan
program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut :
- BOS harus menjadi sarana penting untuk mempercepat
penuntasan Wajar 9 Tahun.
- Melalui BOS tidak ada siswa miskin putus sekolah karena
tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh
sekolah/madrasah/ponpes.
- Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan
kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada
tamatan SD/MI/setara tidak dapat melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan
alasan mahalnya biaya masuk sekolah.
- Kepala sekolah/madrasah/ponpes mencari dan mengajak
siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus dan tidak berpotensi untuk melanjutkan
sekolah yang ditampung di SMP/MTs/SMPLB.
- Demikian juga apabila teridentifikasi anak putus
sekolah yang masih berminat untuk melanjutkan agar diajak kembali ke
bangku sekolah.
B.
Kredit
Usaha Rakyat (KUR)
Kredit
Usaha Rakyat, yang selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit/ pembiayaan kepada
Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja
dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif.
KUR
adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah namun sumber dananya berasal
sepenuhnya dari dana bank. Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR
sebesar 70% sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana.
Penjaminan KUR diberikan dalam rangka meningkatkan akses UMKM-K pada sumber
pembiayaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. KUR disalurkan
oleh 6 bank pelaksana yaitu Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan Bank Syariah
Mandiri (BSM).
C. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Kemiskinan mempengaruhi kesehatan
sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena
mereka mengalami gangguan sebagai berikut:
1. menderita gizi buruk
2. pengetahuan kesehatan kurang
3. perilaku kesehatan kurang
4. lingkungan pemukiman buruk
5. biaya kesehatan tidak tersedia
Sebaliknya kesehatan mempengaruhi
kemiskinan. Masyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang sehat
memiliki kondisi sebagai berikut:
1. produktivitas kerja tinggi
2. pengeluaran berobat rendah
3. Investasi dan tabungan memadai
4. tingkat pendidikan maju
5. tingkat fertilitas dan kematian rendah
6. stabilitas ekonomi mantap
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok:
- Menjamin terpenuhinya keadilan
sosial bagi masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3
kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada keluarga tidak miskin. Di sisi
lain penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin,
dapat mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010.
- Untuk kepentingan politis
nasional yakni menjaga keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya
pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin dan kepentingan politis
internasional untuk menggalang kebersamaan dalam memenuhi komitmen global
guna mnurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin.
- Hasil studi menunjukan bahwa
kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan
demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih berhasil.Upaya-upaya
pelayanan kesehatan penduduk miskin, memerlukan penyelesaian menyeluruh
dan perlu disusun strategi serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan
yang peduli terhadap penduduk miskin.
Pelayanan kesehatan peduli penduduk
miskin meliputi upaya-upaya sebagai berikut:
Ø Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah
kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang
gizi, PMS dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan.
Ø Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk tidak mampu.