Senin, 20 April 2015

TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA

KONSEP KEMISKINAN
      Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif adalah konsep kemiskinan yang mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan hidup seseorang atau kekeluarga. Kedua istilah itu menunjuk pada perbedaan sosial (social distinction) yang ada dalam masyarakat berangkat dari distribusi pendapatan.
Perbedaannya adalah bahwa pada kemiskinan absolut ukurannya sudah terlebih dahulu ditentukan dengan angka-angka nyata (garis kemiskinan) dan atau indikator atau kriteria yang digunakan, sementara pada kemiskinan relatif kategori kemiskinan ditentukan berdasarkan perbandingan relatif tingkat kesejahteraan antar penduduk.
1)      Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut atau mutlak berkaitan dengan standar hidup minimum suatu masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk garis kemiskinan (poverty line) yang sifatnya tetap tanpa dipengaruhi oleh keadaan ekonomi suatu masyarakat. Garis Kemiskinan (poverty line) adalah kemampuan seseorang atau keluarga memenuhi kebutuhan hidup standar pada suatu waktu dan lokasi tertentu untuk melangsungkan hidupnya. Pembentukan garis kemiskinan tergantung pada defenisi mengenai standar hidup minimum. Sehingga kemiskinan abosolut ini bisa diartikan dari melihat seberapa jauh perbedaan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin.
2)      Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif pada dasarnya menunjuk pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang berada dilapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam kategori seperti ini, dapat saja mereka yang digolongkan sebagai miskin sebenarnya sudah dapat mencukupi hak dasarnya, namun tingkat keterpenuhannya berada dilapisan terbawah.

2.    PENGERTIAN KEMISKINAN
       Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.
Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll.

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari: sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. Gambaran kemiskinan jenis ini lebih mudah diatasi daripada dua gambaran yang lainnya.
Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makan "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Gambaran tentang ini dapat diatasi dengan mencari objek penghasilan di luar profesi secara halal. Perkecualian apabila institusi tempatnya bekerja melarang.

   B. GARIS KEMISKINAN

Garis Kemiskinan (GK)

Konsep Definisi
Garis Kemiskinan merupakan representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan.
Rumusan
 GK = GKM + GKNM
Ket :       GK      = Garis Kemiskinan
               GKM   = Garis Kemiskinan Makanan
   GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan
Kegunaan
Untuk mengukur beberapa indikator kemiskinan, seperti jumlah dan persentase penduduk miskin (headcount index-Po), indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index-P1), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index-P2)
Keterangan Tambahan
Selain dari Susenas Modul Konsumsi dan Kor, variabel lain untuk menyusun indikator kemiskinan diperoleh dari Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD).
Interpretasi

Garis kemiskinan menunjukkan jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan yang setara dengan 2100 kilokalori per kapita per hari dan kebutuhan pokok bukan makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Penyebab Kemiskinan   :
  • penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
  • penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
  • penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
  • penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
  • penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.
Dampak Kemiskinan     :
  1. Berkurangnya rasa nasionalisme, dikarenakan terlalu memikirkan kebutuhan utuk bertahan hidup.
  2. Tindak kejahatan tersebar dimana-mana, dikarenakan sudah terlalu terdesak dengan kebutuhan tanpa dibekali iman dalam agama sehingga segala cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
  3. Harga diri suatu Negara yang jatuh dimata dunia dan dianggap sumber dayanya tidak memiliki potensi untuk maju dan hanya mengandalkan bantuan saja.
  4. Menumbuhkan generasi muda yang tidak mengindahkan budaya ketimur.
  5. Hilangnya rasa gotong royong dan saling membantu dikarenakan tingkat sifat individualism yang tinggi.
  6. Timbulnya banyak penyakit dimana-mana dikarenakan keadaan lingkungan yang kumuh dan jauh dari kebersihan.
  7. Semakin banyak yang tidak belajar agama dikarenakan memilih pada focus utama yaitu cari makan.
  8. Semakin terpuruknya ekonomi suatu Negara yang mengakibatkan kehancuran suatu bangsa, akibat ingin memisahkan diri dari wilayah kesatuan tanah air.
Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan.
Data 1970 – 1980 menunjukkan ada korelasi positif antara laju pertumbuhan dan tingkat kesenjangan ekonomi.  Semakin tinggi pertumbuhan PDB/pendapatan perkapita, semakin besar perbedaan sikaya dengan simiskin.
Penelitian di Asia Tenggara oleh Ahuja, dkk (1997) menyimpulkan bahwa selama periode 1970an dan 198an ketimpangan distribusi pendapatan mulai menurun dan stabil, tapi sejak awal 1990an ketimpangan meningkat kembali di LDC’s  dan DC’s seperti Indonesia, Thaliland, Inggris dan Swedia.
Janti (1997) menyimpulkan è semakin besar ketimpangan dalam distribusi pendapatan disebabkan oleh pergeseran demografi, perubahan pasar buruh, dan perubahan kebijakan publik. Perubahan pasar buruh ini disebabkan oleh kesenjangan pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besar saham pendapatan istri dalam jumlah pendapatan keluarga.
Hipotesis Kuznetsè ada korelasi positif atau negatif yang panjang antara tingkat pendapatan per kapita dengan tingkat pemerataan distribusi pendapatan. 
Dengan data cross sectional (antara negara) dan time series, Simon Kuznets menemnukan bahwa relasi kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan perkapita berbentuk U terbalik.


Tingkat Kesenjangan









                                                                                    Periode
                                                            Tingkat Pendapatan Per Kapita

Hasil ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) è Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja  dari desa atau produksi atau penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.

Banyak studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
a.  Sebagian besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
b.  Hubungan positif pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan ada di DC’s
c.  Kurva bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun sebelah kanan.

Deininger dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.

Anand dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.

Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data India:
§  proxy dari pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per orang (1951=0)
§  proxy tingkat kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).

Ranis, dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.
BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN

 Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mrngukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini. [2]

Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
0
x
Kurva Lorenz
Kumulatif presentase dari populasi

Yang mempunyai pendapatan
Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan. Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.

Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk. Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila kelompok tersebut menerima lebih besar dari 17% dari jumlah pendapatan.

Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :[4]

Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a

Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa.

Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK. Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.
kemiskinan di Indonesia
Setelah indonesia dilanda krisis multidimensional yang memuncak pada periode 1997-1999 dan setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%, jumlah orang miskin meningkat kembali dengan tajam, terutama selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan BPS, UNDP dan UNSFIR menunjukkan bahwa jumlah penduduk  miskin pada periode 1996-1998, meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa (BPS,1999). Sementara itu, International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3% dari seluruh jumlah penduduk (BPS, 1999).

Data dari BPS (1999) juga memperlihatkan bahwa selama periode 1996-1998 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hampir sama di wilayah pedesaan dan perkotaan. Di wilayah pedesaan angka kemiskinan meningkat menjadi 67,72%, sementara di perkotaan meningkat menjadi 61,1%. Secara agregat, persentase peningkatan penduduk miskin terhadap total populasi memang lebih besar di wilayah pedesaan (7,78%) dibandingkan dengan perkotaan (4,72%). Akan tetapi, selama dua tahun terakhir ini secara absolut jumlah orang miskin meningkat sekitar 140% atau 10,4 juta jiwa di wilayah perkotaan, sedangkan di pedesaan sekitar 105% atau 16,6 juta jiwa (lihat Remi dan Tjiptoherijanto, 2002).

Data di atas mengindikasikan bahwa krisis telah membuat penderitaan penduduk perkotaan lebih parah daripada penduduk pedesaan. Menurut Thorbecke (1999), setidaknya ada dua penjelasan atas hal ini. Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh lebih buruk pada beberapa sektor ekonomi utama di perkotaan, seperti perdagangan, perbankan dan konstruksi. Sektor-sektor ini membawa dampak negatif dan memperparah pengangguran di perkotaan. Kedua, pertambahan harga bahan makanan kurang berpengaruh terhadap penduduk pedesaan karena mereka masih dapat memenuhi kebutuhan dasarnya melalui sistem produksi subsistem yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat perkotaan yang sistem produksi subsistemnya khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan makanan tidak terlalu dominan pada masyarakat perkotaan.

Angka kemiskinan ini jauh lebih besar jika dalam kategori kemiskinan dimasukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta jiwa. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu, jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau memiliki pekerjaan tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Secara umum kondisi PMKS lebih memprihatinkan daripada orang miskin. Selain memiliki kekurangan pangan, sandang dan papan, kelompok rentan (vulnerable group) ini mengalami ketelantaran psikologis, sosial dan politik terutama menghinggapi para pemuda di negeri ini.

Selain kelompok di atas, krisis ekonomi yang terjadi meningkatkan jumlah orang yang bekerja di sektor informal. Merosotnya pertumbuhan ekonomi, dilikuidasinya sejumlah kantor swasta dan pemerintah, serta dirampingkannya struktur industri formal yang lebih fleksibel. Studi ILO (1998) memperkirakan bahwa selama periode krisis antara tahun 1997 dan 1998, pemutusan hubungan kerja terhdap 5,4 juta pekerja pada sektor industri modern menurunkan jumlah pekerja formal (terutama para pemuda) dari 35% menjadi 30%.

Menurut Tambunan (2000), sedikitnya setengahnya dari penganggur baru tersebut diserap oleh sektor informal serta industri kecil dan rumah tangga lainnya. Pada sektor informal perkotaan khususnya pedagang kaki lima mengalami peningkatan yang sangat dramatis. Misalnya di Jakarta dan Bandung pada periode akhir tahun 1996-1999 pertumbuhan pedagang kaki lima mencapai 300% (Kompas, 1998). Dilihat dari jumlah dan potensinya, pekerja sektor informal ini sangat besar. Namun demikian, seperti halnya dua kelompok masyarakat di atas, kondisi sosial ekonomi pekerja sektor informal masih berada dalam keadaan miskin dan rentan.

Departmen Sosial tidak pernah absen dalam mengkaji masalah kemiskinan ini, termasuk melaksanakan Program-Program Kesejahteraan Sosial dikenal PROKESOS yang dilaksanakan, baik secara intradepartmen maupun antardepartmen bekerja sama dengan department-departmen lain secara lintas sektoral. Dalm garis besar pendekatan Depsos dalam menelaah dan menangani kemsikinan sangat dipengaruhi oleh persefektif pekerjaan sosial (social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan –pekerjaan amal begitu saja, melainkan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body knowledge), nilai-nilai (body value), dan keterampilan (body of skills) professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan sosial (S1, S2, dan S3).
Karakteristik kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan adalah persoalan yang dihadapi oleh seluruh Negara di dunia akan tetapi karakteristik kemiskinan pada masing-masing Negara berbeda. Menurut Kemal A. Stamboel, sedikitnya terdapat tujuh karakteristik kemiskinan di Indonesia, yaitu :
1.      Mayoritas rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.
Secara sektoral, jumlah penduduk miskin Indonesia terkonsentrasi di sektor pertanian. Menurut data BPS (2010), sekitar 63%  rumah tangga miskin yang bekerja di sektor pertanian merupakan buruh tani, sekitar 6% bekerja di sektor industri, sekitar 10% belum atau tidak memiliki pekerjaan dan sisanya 21% bekerja di sektor-sektor lainnya. Besarnya ketergantungan masyarakat miskin terhadap sektor pertanian menjadikan sektor ini penting untuk mendapatkan prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Meski demikian, kita melihat pertumbuhan sektor pertanian terus menurun dari tahun ke tahun yang secara tidak langsung menunjukkan produktivitas yang sangat rendah. Produktivitas yang rendah ini menyebabkan nilai pendapatan per kapita sektor pertanian paling rendah jika dibandingkan sektor lainnnya. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya kepemilikan dan penguasaan lahan petani.
                                
2.      Mayoritas rumah tangga miskin adalah petani gurem/subsisten
Jumlah petani meningkat sekitar 5 juta dalam kurun waktu 1993-2003 dari 20,87 juta menjadi 25,4 juta atau dengan kata lain meningkat rata-rata 2,2% per tahun. Namun peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah petani gurem/subsisten yang pada tahun 1993 hanya berjumlah 10,8 juta jiwa menjadi 13,7 juta jiwa pada tahun 2003 atau meningkat sekitar 2,6% per tahunnya. Dengan demikian persentase rata-rata peningkatan jumlah petani gurem lebih tinggi 0,3% dari peningkatan rata-rata jumlah rumah tangga petani.
Kondisi gurem/subsisten ini meyebabkan petani di Indonesia memiliki produktivitas yang rendah. Produktivitas pertanian yang mereka lakukan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan namun belum mampu untuk mendapatkan keuntungan sehingga memperoleh tambahan pendapatan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan non-makanan.

3.      Disparitas tingkat kemiskinan yang tinggi antara kota dan desa
Secara kuantitas, jumlah penduduk miskin yang tinggal di perdesaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan dengan rata-rata hamper mencapai dua kali lipat. Dengan kata lain, setiap satu penduduk miskin yang ada di kota, terdapat sekitar 2 penduduk miskin yang berda di desa. Lebih dalam lagi bila kita perhatikan, keberdaan penduduk miskin di kota tak lain merupakan akibat dari proses urbanisasi yang cukup masif dari penduduk miskin desa yang pindah ke kota untuk mencari pekerjaan.
Urbanisasi menyebabkan terjadinya perpindahan tenaga kerja dari penduduk miskin perdesaan yang memiliki keterbatasan pendidikan, keterampilan, dan keahlian beralih ke kota. Proses perpindahan ini secara tidak langsung menjadi sebuah proses pemindahan penduduk miskin yang awalnya tinggal di perdesaan menjadi tinggal di daerah perkotaan. Dengan kata lain, meskipun terdapat penduduk miskin di kota, sumber kemiskinan tetap muncul dari wilayah perdesaan.

4.      Disparitas tingkat kemiskinan  yang sangat tinggi antar provinsi
Secara geospasial, Indonesia memiliki angka sebaran kemiskinan yang tidak merata antar provinsi dan terdapat kesenjangan yang sangat besar antar satu provinsi dengan provinsi yang lain. Ada provinsi yang tingkat kemiskinannya cukup rendah namun di daerah lain sangat tinggi, bahkan perbedaannya bisa mencapai 1 banding 12. Ambil contoh Jakarta dan Papua, dimana tingkat kemiskinan Jakarta hanya sekitar 3,84%, sedangkan di Papua bisa mencapai angka 36,8%. Ini adalah sebuah potret disparitas yang sangat ekstrem. Jika kita lihat lebih mendalam potret kegiatan ekonominya, maka provinsi-provinsi yang kegiatan ekonominya banyak bergerak di sektor pertanian cenderung memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dibandinkan provinsi-provinsi yang mengandalakan  sektor perindustrian atau jasa.

5.      Dominasi belanja belanja makanan terhadap garis kemiskinan
Pendekatan perhitungan kemiskinan di Indonesia yang menggunakan pengeluaran minimum kebutuhan dasar makanan dan non-makanan menyebabkan tingkat kemiskinan di Indonesia sangat elastis terhadap perubahan harga kedua jenis komoditas tersebut. Dari dua jenis komoditas, makanan dan non-makanan terhitung bahwa mayoritas pengeluaran masyarakat miskin  yaitu 74% digunakan untuk pembelian komoditas makanan sedangkan komoditas non-makanan hanya menyumbang sekitar 26%. Dari total pengeluaran makanan tersebut, beras adalah penyumbang terbesar dengan proporsi sebesar 25,2% untuk rumah tangga miskin yang tinggal di perkotaan dan sekitar 34,11% untuk rumah tinggi miskin di perdesaan.
Selanjutnya, fenomena yang cukup menarik adalah pengeluaran rumah tangga miskin terhadap rokok ternyata cukup tinggi yakni sekitar 7,93% untuk rumah tangga miskin di perkotaan dan sekitar 5,9% untuk rumah tinggi miskin perdesaan. Pengeluaran untuk konsumsi rokok ini menduduki peringkat kedua terbesar setelah beras untuk jenis komoditas makanan. Lebih miris lagi, pengeluaran  rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok lebih besar daripada penegeluaran untuk biaya pendidikan anak-anak mereka.
6.      Berkumpul di sekitar garis kemiskinan.
Menurut data BPS, per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 30,02 juta jiwa atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia, jika dibandingkan dengan data per Maret 2010, dimana penduduk miskin berjumlah 31,02 juta jiwa atau 13,33% maka terjadi penurun 1 juta jiwa dalam setahun terakhir. Namun penurunan tersebut melambat jika dibandingka dengan pencapaian tahun sebelumnya yang berhasil mengentaskan kemiskinan hingga 1,5 juta jiwa sementara pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2011 meningkat drastis mencapai 6,5% dari tahun 2010 yang hanya 6,1%. Dengan kata lain, laju pengurangan kemiskinan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Angka ini pun belum menambahkan jumlah penduduk yang sedikit di atas garis kemiskinan atau near poor. Tahun sebelumnya jumlah near poor mencapai 29,38 juta jiwa yang didapat dengan melihat jumlah populasi yang hidup dikisaran 1,2 kali dari garis kemiskinan. Dengan demikian, jika rata-rata garis kemiskinan pada Maret 2011 adalah Rp.233.740,- pengeluaran per kapita per bulan atau Rp.7.791,- per kapita per hari (BPS, 2011), maka ukuran untuk near poor adalah penduduk yang pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Rp.280.488 atau Rp,9,350,- per kapita per hari. Dengan ukuran tersebut berarti jumlah penduduk yang pengeluaran di bawah Rp.10.000,- per hari masih sekitar 60 juta jiwa yang terdiri dari 30,02 juta jiwa di kategorikan miskin dan 29,38 juta jiwa yang dikategorikan hampir miskin.

7.      Kemiskinan bersifat multidimensi.
Jika kita kembali membaca data Susenas 2009 BPS, hati kita akan semakin gelisah karena kemiskinan multidimensi masih merupakan fenomena umum yang terjadi di masyarakat kita dari sisi kesehatan, jumlah kematian balita per 1.000 kelahiran mencapai 60,1% di daerah perdesaan dan 37,8% di perkotaan. Persentase penduduk yang tinggal di rumah yang tidak layak tinggal , kurang akses sanitasi, dan tidak memiliki MCK yang baik mencapai angka 50,42% untuk daerah perdesaan dan 15,05% untuk perkotaan.
Dari segi pendidikan, masyarakat Indonesia masih mengalami nasib yang mengenaskan. Angka persentase penduduk yang hidup dalam rumah tangga dengan kepala keluarga yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun mencapai angka 83,65% untuk perdesaan dan 50,47% untuk perkotaan. Yang paling memprihatikan adalah rendahnya tingkat pendidikan generasi muda yang bisa dilihat dari persentase penduduk yang berusia 18-24 tahun yang tidak menyelesaikan pendidikan dasar Sembilan tahun berjumlah 40,70% untuk daerah perdesaan dan 15,97% untuk perkotaan.
Faktor – faktor Kemiskinan :
1.      Pengangguran
Semakin banyak pengangguran, semakin banyak pula orang-orang miskin yang ada di sekitar. Karena pengangguran atau orang yang menganggur tidak bisa mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Padahal kebutuhan setiap manusia itu semakin hari semakin bertambah. Selain itu pengangguran juga menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat, yaitu pengangguran dapat menjadikan orang biasa menjadi pencuri, perampok, dan pengemis yang akan meresahkan masyarakat sekitar.

2.      Tingkat pendidikan yang rendah
Tidak adanya keterampilan, ilmu pengetahuan, dan wawasan yang lebih,  masyarakat tidak akan mampu memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik. Karena dengan pendidikan masyarakat bisa mengerti dan memahami bagaimana cara untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dengan belajar, orang yang semula tidak bisa menjadi bisa, salah menjadi benar, dsb. Maka dengan tingkat pendidikan yang rendah masyarakat akan dekat dengan kemiskinan.

3.      Bencana Alam
Banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan tsunami menyebabkan gagalnya panen para petani, sehingga tidak ada bahan makanan untuk dikonsumsi dan dijual kepada penadah atau koperasi. Kesulitan bahan makanan dan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak dapat terpenuhi.
KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk
intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
1.      pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
2.      Pemerintahan yang baik (good governance)
3.      Pembangunan sosial
Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
a.       Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan
b.      Intervensi jangka menengah dan panjang
o   Pembangunan sektor swasta
o   Kerjasama regional
o   APBN dan administrasi
o   Desentralisasi
o   Pendidikan dan Kesehatan
o   Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan
PROGRAM-PROGRAM PEMERINTAH Untuk MENANGGULANGI KEMISKINAN di INDONESIA
A.    Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) secara konsep mencakup komponen untuk biaya operasional non personel hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional (Balitbang Depdiknas). Namun karena biaya satuan yang digunakan adalah rata-rata nasional, maka penggunaan BOS dimungkinkan untuk membiayai beberapa kegiatan lain yang tergolong dalam biaya personil dan biaya investasi.
Prioritas utama BOS adalah untuk biaya operasional non personil bagi sekolah. Oleh karena itu keterbatasan dana BOS dari pemerintah Pusat, maka biaya untuk investasi sekolah/madrasah/ponpes dan kesejahteraan guru harus dibiayai dari sumber lain, dengan prioritas utama dari sumber pemerintah, pemerintah daerah dan selanjutnya dari partisipasi masyarakat yang mampu.
Dalam Rangka Penuntasan Wajar Sembilan tahun yang bermutu, banyak program yang telah, sedang dan akan dilakukan. Program-program tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu pemerataan dan perluasan akses, peningkata mutu, relevansi dan daya saing dan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Salah satu program yang diharapkan berperan besar terhadap percepatan penuntasan Wajar 9 Tahun yang bermutu adalah program BOS.
Melalui Program BOS yang terkait dengan gerakan percepatan penuntasan Wajar 9 Tahun, maka setiap pelaksanaan program pendidikan harus memperhatikan hal-hal berikut :
  • BOS harus menjadi sarana penting untuk mempercepat penuntasan Wajar 9 Tahun.
  • Melalui BOS tidak ada siswa miskin putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah/madrasah/ponpes.
  • Anak lulusan sekolah setingkat SD, harus diupayakan kelangsungan pendidikannya ke sekolah setingkat SMP. Tidak boleh ada tamatan SD/MI/setara tidak dapat melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB dengan alasan mahalnya biaya masuk sekolah.
  • Kepala sekolah/madrasah/ponpes mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB yang akan lulus dan tidak berpotensi untuk melanjutkan sekolah yang ditampung di SMP/MTs/SMPLB.
  • Demikian juga apabila teridentifikasi anak putus sekolah yang masih berminat untuk melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah.

B.     Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Kredit Usaha Rakyat, yang selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit/ pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif.
KUR adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank. Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR sebesar 70% sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana. Penjaminan KUR diberikan dalam rangka meningkatkan akses UMKM-K pada sumber pembiayaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. KUR disalurkan oleh 6 bank pelaksana yaitu Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan Bank Syariah Mandiri (BSM).

C.     Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Kemiskinan mempengaruhi kesehatan sehingga orang miskin menjadi rentan terhadap berbagai macam penyakit, karena mereka mengalami gangguan sebagai berikut:
1. menderita gizi buruk
2. pengetahuan kesehatan kurang
3. perilaku kesehatan kurang
4. lingkungan pemukiman buruk
5. biaya kesehatan tidak tersedia
Sebaliknya kesehatan mempengaruhi kemiskinan. Masyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang sehat memiliki kondisi sebagai berikut:
1. produktivitas kerja tinggi
2. pengeluaran berobat rendah
3. Investasi dan tabungan memadai
4. tingkat pendidikan maju
5. tingkat fertilitas dan kematian rendah
6. stabilitas ekonomi mantap
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok:
  • Menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada keluarga tidak miskin. Di sisi lain penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat mencegah 8 juta kematian sampai tahun 2010.
  • Untuk kepentingan politis nasional yakni menjaga keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin dan kepentingan politis internasional untuk menggalang kebersamaan dalam memenuhi komitmen global guna mnurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin.
  • Hasil studi menunjukan bahwa kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih berhasil.Upaya-upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin, memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun strategi serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli terhadap penduduk miskin.
Pelayanan kesehatan peduli penduduk miskin meliputi upaya-upaya sebagai berikut:
Ø  Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang gizi, PMS dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan.

Ø  Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk tidak mampu.